Geplak

Geplak

Bagi Anda yang hidup di zaman modern, mungkin tak banyak mengenal geplak. Kecuali Anda memang tinggal di lingkungan masyarakat Betawi. Geplak banyak dikonsumsi masyarakat sebagai camilan atau makanan kecil, namun memiliki rasa lezat. Biasanya geplak dibuat khusus untuk hantaran pengantin Betawi, hidangan keluarga Betawi, bahkan ada pula yang memesan khusus memeriahkan perayaan keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Sebagai penjual makanan, Mumun mengaku, saat ini geplak sudah mulai jarang terdengar dan sedikit pula orang yang mau membuatnya. Dijelaskan Mumun, orang Betawi dulu meyakini geplak sebagai makanan yang penuh misteri, termasuk adanya pantangan dalam pembuatannya. "Percaya tidak percaya, kalau dilanggar bisa tidak jadi kuenya," ungkapnya. 

Geplak dibuat dari beras yang agak keras lalu digiling menjadi tepung dan disangrai, lalu dicampur dengan kelapa parut yang juga sudah disangrai sebelumnya. Kemudian adonan itu dicampur dengan gula pasir yang sudah dicairkan hingga agak mengental, dan selagi panas diaduk-aduk hingga menjadi adonan yang padat, lalu dicetak dalam tenong.

Pembuatan geplak memang sedikit merepotkan. Apalagi dalam kondisi panas. Untuk mendapatkan rasa geplak yang pas, terlebih dulu adonan diaduk hingga merata. "Setelah itu adonan yang sudah rata, dicetak ditenong dan kemudian ratakan dengan tangan dengan setengah dipukul, karenanya disebut dengan geplak," ujar Mumun. Rasanya yang manis bercampur gurih menjadikan geplak cukup terkenal pada masa kejayaannya dan banyak digemari masyarakat. 

Tapi, siapa sangka jika gepak Betawi memiliki sejarah tersendiri. Seperti diakui H Sanusi. Menurutnya, keberadaan geplak tak lepas dari keberadaan Sundakelapa yang menjadi pusat pengiriman rempah, termasuk gula dan kelapa yang dihasilkan dari daerah lain, lalu dikirim melalui jalur laut oleh kolonial Belanda. Melimpahnya kepala dan gula ini pula lah yang melahirkan geplak Betawi.