Lenong

19/05/2012 15:31

Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Almarhum Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita.

Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks.

Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran. “Rasanya, kami seperti berada di pinggir jurang,” cetus S.M Ardan, sastrawan dan sineas Betawi yang kini aktif di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.

Itu sebabnya, tahun 70-an, bersama para dedengkot Taman Ismail Marzuki (TIM), seperti Sumantri Sostrosuwondo dan Daduk Jayakusumah (keduanya almarhum), Ardan dan Ali Shahab (beken lewat “Jin Tomang”) bertekad menggaet lenong ke tempat terhormat, lewat revitalisasi lenong. Intinya, memberi kesempatan manggung sebanyak-banyaknya buat para seniman kocak itu. “Agar nama mereka ikut terangkat,” terang Ardan lagi.

Di TIM, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan kepada pemain. “Kami mulai mengajarkan dialog, artikulasi, frasa, nuansa dan bloking sebagai bagian dari dinamika pementasan,” cerita Ali Shahab. Sebagai art director, dia juga memperkenalkan tata panggung yang lebih realistis. Mulai pemakaian make-upuntuk menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan hair creppe buat kumis dan jenggot, hingga special effect untuk darah dan luka.

Selama beberapa tahun, lenong ngetrend di TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya. Anak lenong seperti Bokir, Nasir, Anen, Nirin, M.Toha, Bu Siti, Naserin ikutan beken. Kehidupan mereka pun terangkat lewat tawaran iklan, penampilan di TVRI, bahkan main film layar lebar.

Dibedakan pakaian

Tapi, jangan salah, lenong sendiri banyak macamnya, Cing. Drama rakyat yang populer di TIM dan TVRI, dengan lakon bertemakan cerita sehari-hari seperti rakyat yang tergencet pajak tuan tanah, disebut Lenong Preman. Alasannya gampang, karena pakaian para pemainnya tidak ditentukan sang sutradara. Jadi, boleh pakai baju sesuka hati, asal tak melenceng dari peran.

Di ujung cerita, biasanya muncul jagoan dari kalangan santri (pendekar taat beribadah) yang bertindak sebagai pembela rakyat. Ali Shahab menyebut para jawara itu berkarakter Robin Hood, merampok orang kaya guna menolong si miskin. Nah, karena penonjolan peran jagoan-jagoan itulah, Lenong Preman dinamai juga Lenong Jago.

Jika ada pemain berpakaian preman, mestinya ada juga yang berbaju resmi. Orang Betawi menyebutnya pakaian denes (dinas, red). Sayang, perkembangan Lenong Denes tak seharum rekan-rekannya di kelompok Preman. Barangkali, karena butuh modal besar untuk tampil di panggung. Maklum, pemainnya harus pakai seragam sesuai tuntutan cerita, yang sebagian besar bertutur tentang kisah-kisah 1001 malam.

Pada dasarnya, Lenong Preman dan Denes memang cuma dibedakan dari pakaian yang dikenakan. Karena pakem-pakem lainnya tetap seragam. Seperti aturan bahwa pemain harus masuk dari sisi kanan panggung dan keluar dari sisi kiri. Serta pakem terpenting yang tak bisa ditawar-tawar, musik pengiring gambang kromong. “Di luar itu, ya bukan lenong,” tegas Ardan.

Gambang kromong sendiri mirip perlengkapan band, terdiri atas berbagai instrumen. Berturut-turut gambang (alat musik dengan banyak sumber suara, terdiri dari 18 buah bilah terbuat dari kayu. Dikenal juga dalam tradisi Jawa dan Sunda), teh yan (semacam rebab berukuran kecil, berasal dari Cina), kong an yan (rebab berukuran sedang, juga berasal dari Cina), shu kong (rebab berukuran besar dari Cina), ning-nong (mirip gamelen Jawa dan Sunda, terbuat dari perunggu).

Selain itu, masih ada kemong (sejenis gong kecil, mirip gamelan Jawa atau Sunda), kromong (gamelan yang dapat menghasilkan 10 sumber suara),kecrek (bilah perunggu yang diberi landasan kayu untuk dipukul-pukul, sehingga berbunyi crek,crek), serta kendang (tambur dengan dua permukaan, berasal dari Jawa, Sunda atau Bali).

Toh, Ardan bisa mentoleransi daerah tertentu, terutama pinggiran Jakarta (perbatasan dengan Bekasi dan Bogor), yang memang tidak memiliki tradisi gambang kromong. Melihat sejarahnya, gambang kromong konon berasal dan berkembang di Betawi Tengah, seperti kawasan Tanah Abang, Senen, Salemba, Jatinegara dan sekitarnya.

Di pinggir Jakarta, “Mereka tetap mempertahankan pakem asli lenong, kecuali musik pengiringnya yang diganti tanjidor,” jelas Ardan. Kok tanjidor? “Karena musik jenis itulah yang berkembang pesat dan menjadi jati diri masyarakat Betawi pinggir,” tegas Ardan. Buat gampangnya, lenong jenis ini kemudian dinamai jinong, kependekan dari tanjidor dan lenong.